AM Hendropriyono

Renungan, Pemikiran dan Catatan Harian AM Hendropriyono

  • Kategori

  • April 2009
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    27282930  
  • Arsip

  • Komentar Terbaru

Baju Besi dan Sangkar Besi

Posted by amhendropriyono pada April 1, 2009

Indonesia yang pada abad ke-8 dan abad ke-13 merupakan suatu bangsa besar yang dipertuan di Asia Tenggara, kini pada abad ke-21 terpaksa harus mengenakan baju besi neoliberalisme yang menyakitkan, seperti juga yang harus dipakai oleh hampir semua negara berkembang lain di dunia. Kesakitan yang diderita karena baju besi kapitalisme dan demokrasi harus dikenakan oleh negara-negara berkembang, dengan ukuran yang terlalu sempit atau terlalu longgar bagi badan mereka masing-masing.

Neoliberalisme mengisyaratkan bahwa setiap bangsa yang ingin hidup sejahtera dan cerah hari depannya harus menerapkan praksis filsafat kapitalisme liberal dan filsafat demokrasi secara bersamaan, baik cocok maupun tidak, bagi nilai-nilai tradisi atau budaya bangsanya sendiri. Padahal, kedua macam filsafat asing itu berbeda satu sama lain. Hakikat kapitalisme liberal adalah ekonomi pasar, yang menuntut fungsi pemerintah berada seminimal mungkin di dalam aspek ekonomi. Fungsi pemerintah harus dibatasi hanya untuk menyediakan infrastruktur, menjamin keamanan, hak kepemilikan pribadi, dan menegakkan kontrak. Dalam perkembangan globalisasi di era kini, tuntutan neoliberalisme juga berkembang sampai penyediaan infrastruktur tidak lagi merupakan fungsi pemerintah. Demikian pula halnya kelak dengan fungsi keamanan, sehingga fungsi pemerintah semata-mata menyelenggarakan pertahanan jika negara terlibat di dalam peperangan. Sebaliknya, filsafat demokrasi justru menuntut fungsi pemerintah untuk dilaksanakan secara maksimal di bidang politik. Fungsi tersebut berada dalam posisi yang terkontrol dan seimbang, sesuai dengan asas Trias Politika Montesque yang membagi pemerintahan dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sangkar besi globalisasi
Dengan baju besi neoliberal dan sekaligus terkurung di dalam sangkar besi globalisasi yang tidak nyaman, manusia Indonesia niscaya membutuhkan kebebasan. Hasrat kebebasan sosial untuk menerapkan praksis filsafatnya sendiri, tidak mungkin dapat dikompensasi hanya dengan janji ekonomi global di dalam kemungkinan cerahnya hari depan. Sebagai contoh adalah harga global BBM dan bahan makanan yang mulai dirasakan terlalu tinggi bagi negara-negara maju, bagi bangsa Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu cekikan di leher yang mematikan. Bangsa kita ingin bebas dari cekikan maut dan ingin segera berontak untuk menyelamatkan diri. Namun, bagaimanakah bentuk pemberontakan itu? Apakah harus berupa suatu revolusi? Tentu tidak karena bangsa Indonesia sudah paham akan makna revolusi, yang selalu akan berakhir dengan memakan korban anak- anaknya sendiri. Revolusi sosial yang meletus di dalam suatu negara bangsa hanya akan menghancurkan segenap tatanan kehidupan bangsanya sendiri dan memorakporandakan infrastruktur demokrasi.

Jangankan revolusi, disiplin sosial yang rentan saja tidak mungkin dapat mempertahankan eksistensi demokrasi yang telah kita perjuangkan dengan mahal selama 10 tahun terakhir ini. Seperti yang terjadi pada sekitar tahun 1970 dari kampus-kampus seluruh Amerika Serikat hampir setiap bulan turun demonstrasi mahasiswa yang ekstrim, keras, dan radikal. Penggeraknya adalah kelompok muda The Students for a Democratic Society (SDS). Ketika berlangsung demonstrasi di Little Rock yang cenderung anarkis, seorang mahasiswa telah tertembak mati. Sesuai dengan tradisi dalam demokrasi, gubernur negara bagian harus bertanggung jawab dan wajib dengan legawa mengundurkan diri. Namun, etika demokrasi yang anti ekstremitas juga menjatuhkan sanksi sosial sehingga nama SDS yang semula harum sebagai pengusung intelek demokrasi menjadi hancur seketika tanpa bekas di mata rakyatnya.

Ampera
Kalau begitu, lalu apa yang dapat kita lakukan? Ingatlah sebuah pesan yang disampaikan Bung Karno pada Juni 1952: ”Jikalau engkau pada suatu hari merasa bingung akan jalannya revolusi kita, maka kembalilah segera kepada amanat penderitaan rakyat (Ampera)”. Rakyat telah memberi amanat kepada para pemimpin bangsa, untuk melakukan terobosan universal demi menyelamatkan mereka. Oleh karena itu, nation state atau negara bangsa Indonesia wajib segera dibebaskan dari penderitaan akibat baju besi dan sangkar besi yang memenjarakannya. Terobosan tersebut bukan chauvinisme, tetapi suatu wawasan kebangsaan yang segar, yang merupakan revitalisasi nasionalisme Pancasila di era global.

Kebangsaan yang segar adalah wawasan yang berdiri di atas interdependensi atau saling ketergantungan di dalam kehidupan modern antarnegara di dunia, bukannya hanya menggantungkan nasib kepada negara-negara maju. Pancasila menuntut duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sebagai syarat hidup antarbangsa. Pancasila menolak istilah toleransi sebagaimana yang ditawarkan dalam sikap globalisasi. Toleransi merupakan bahasa paternalistik dari pihak superior kepada pihak inferior, dari mayoritas terhadap minoritas, atau bahasa pihak negara maju kepada Indonesia dan pihak negara berkembang lain. Salah satu contoh praksis Pancasila dalam konteks mengemban Ampera akibat cekikan maut global adalah suatu renegosiasi kontrak atas konsesi pertambangan minyak asing, dengan tujuan mencapai keadilan praksis dari sistem produksi dan distribusi BBM. Setelah melalui strategi nasionalisasi perusahaan minyak asing, kini harga BBM di dalam negeri Venezuela dapat ditekan sampai hanya 0,1 Bolivar per liter = 0,04 dollar AS = Rp 372 per liter. Di negara itu diterapkan neo-nasionalisme, suatu ide revolusi wawasan, yang ekuivalen dengan kesegaran nilai-nilai kebangsaan di dalam filsafat Pancasila.

AM Hendropriyono Jenderal TNI (Purn), Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Umum Kompas edisi 2 Juni 2008, halaman 6

Tinggalkan komentar